Kata Pengantar:
Membuat definisi budaya Indonesia merupakan hal yang sangat sulit karena
banyak yang beranggapan bahwa budaya Indonesia itu tidak ada. Yang ada
adalah budaya masing-masing suku di Indonesia. Namun marilah kita tidak usah
susah payah mendefinisikan budaya Indonesia ini. Yang kita lihat di sini adalah
jalan pemikiran serta tata cara hidup orang-orang di Indonesia yang akhirnya
membentuk terminologi 'budaya Indonesia'. Sementara itu banyak juga yang berpendapat
bahwa budaya itu tidak dapat diajarkan, jadi mengapa kita perlu membahas
komponen budaya dalam pengajaran BIPA? Barangkali untuk lebih tepatnya adalah
kita berupaya menanamkan kesadaran budaya Indonesia yaitu segala sesuatu yang
berkaitan dengan Indonesia.
Pada kenyataannya kesadaran pembelajar BIPA tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Salah satu contoh klasik yang sangat sering dipakai adalah pertanyaan-pertanyaan: “mau kemana?, dari mana?, anaknya berapa?, gajinya berapa?, sudah menikah?, kok belum menikah?” yang sering menyebabkan pembelajar terheran-heran dengan keingintahuan orang Indonesia terhadap urusan orang lain.
Pada kenyataannya kesadaran pembelajar BIPA tentang budaya Indonesia akan sangat membantu pembelajar dalam mengaktualisasikan diri mereka secara tepat di dalam bahasa Indonesia. Salah satu contoh klasik yang sangat sering dipakai adalah pertanyaan-pertanyaan: “mau kemana?, dari mana?, anaknya berapa?, gajinya berapa?, sudah menikah?, kok belum menikah?” yang sering menyebabkan pembelajar terheran-heran dengan keingintahuan orang Indonesia terhadap urusan orang lain.
Beberapa ungkapan dalam
bahasa Indonesia dianggap melampaui batas kewajaran oleh pembelajar BIPA,
yaitu: “wah gemuk sekali” dan “anaknya lucu ya” yang berati positif di
Indonesia namun memuat konotasi negatif dalam konsep budaya barat.
Pertanyaan-pertanyaan pada kelompok pertama dan ungkapan-ungkapa pujian pada
kelompok kedua tentu saja harus dipahami sebagai komponen fungsi bahasa yang
harus dijelaskan dalam konteks budaya dan tidak dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa si pembelajar begitu saja. Seringnya ditemui keluhan tentang betapa inginnya
orang Indonesia mencampuri urusan orang lain dalam konteks komunikasi menggunakan
bahasa Indonesia, menunjukkan betapa minimnya pembahasan
komponen budaya dalam BIPA. Dalam contoh tersebut di atas, seperti yang tersirat dalam pertanyaan dan ungkapan pujian, komponen budaya bisa dikenalkan kepada murid, paling tidak sebagai catatatan budaya, di mana guru bisa menyinggung masalah ini bahkan pada hari pertama pelajaran BIPA dimulai dengan menggunakan topik “greeting” atau memberi salam yang bahan ajarnya diperoleh dari materi otentik (authentic materials).
komponen budaya dalam BIPA. Dalam contoh tersebut di atas, seperti yang tersirat dalam pertanyaan dan ungkapan pujian, komponen budaya bisa dikenalkan kepada murid, paling tidak sebagai catatatan budaya, di mana guru bisa menyinggung masalah ini bahkan pada hari pertama pelajaran BIPA dimulai dengan menggunakan topik “greeting” atau memberi salam yang bahan ajarnya diperoleh dari materi otentik (authentic materials).
Silabus dan kurikulum BIPA
perlu mencantumkan komponen budaya ini untuk melengkapi pengajaran BIPA. Pada
sisi lain pengajar juga harus memiliki pengetahuan tentang budaya Indonesia.
Apa yang ingin diajarkan lewat komponen budaya tergantung bukan saja pada
kurikulum dan silabus BIPA yang diciptakan atau diadopsi oleh pengajar.
Komponen itu harus mengacu pada kepentingan pembelajar dalam mempelajari bahasa
Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu disampaikan bahwa kesadaran tentang
budaya Indonesia ini bukan hanya melingkupi apa yang dapat dilihat dengan jelas
(tarian, drama, adat istiadat, praktek-praktek keagamaan), namun hal tersebut
juga mencakup permasalahan yang tak terhingga banyaknya, misalnya konsep
menghormati yang lebih tua, konsep kekeluargaan, memberi dan menerima pujian,
meminta maaf, keterusterangan, kritik dan sebagainya yang semuanya bisa dibahas
dengan cara menyisipkannya ke dalam catatan budaya dalam pelajaran bahasa.
Dalam konteks yang lebih luas yaitu konsep tentang HAM, agama, dosa dan pahala,
bahasa tubuh dsb. memerlukan pembahasan yang lebih luas dan dijelaskan
tersendiri (tidak bisa disisipkan dalam catatan budaya). Dalam hal ini komponen
yang akan diajarkan/dibahas dipilih sesuai kebutuhan pembelajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar